Budaya Barong di Bali

Barong Bali adalah satu di antara begitu banyak ragam seni pertunjukan Bali.

Tadisi Melayangan di Bali

Bermain Layang-layang atau dengan istilah Bali disebut dengan Melayangan.

Kisah Cerita Calon Arang

Disebutkan dalam Babad Bali, Dramatari calonanrang ini adalah bersifat ritual dan magis

Tradisi Omed-omedan di Bali

Bali memiliki banyak tradisi unik, salah satunya Omed-omedan.

Tradisi Perang Pandan di Tenganan Bali

Perang pandan adalah salah satu tradisi yang ada di Desa Tenganan, Kecamatan Karangasem, Bali.

Kamis, 03 Juli 2014

Pengertian Moksa


google.com
Dalam agama Hindu kita percaya adanya Panca Srada yaitu lima keyakinan yang terdiri dari, Brahman, Atman, Karma Pala, Reinkarnasi, dan Moksa. Moksa berasal dari bahasa sansekreta dari akar kata "MUC" yang artinya bebas atau membebaskan. Moksa dapat juga disebut dengan Mukti artinya mencapai kebebasan jiwatman atau kebahagian rohani yang langgeng. Jagaditha dapat juga disebut dengan Bukti artinya membina kebahagiaan, kemakmuran kehidupan masyarakat dan negara.
Jadi Moksa adalah suatu kepercayaan adanya kebebasan yaitu bersatunya antara atman dengan brahman. Kalau orang sudah mengalami moksa dia akan bebas dari ikatan keduniawian, bebas dari hukum karma dan bebas dari penjelmaan kembali (reinkarnasi) dan akan mengalami Sat, Cit, Ananda (kebenaran, kesadaran, kebahagian).
Dalam kehidupan kita saat ini juga dapat untuk mencapai moksa yang disebut dengan Jiwan Mukti (Moksa semasih hidup), bukan berarti moksa hanya dapat dicapai dan dirasakan setelah meninggal dunia, dalam kehidupan sekarangpun kita dapat merasakan moksa yaitu kebebesan asal persyaratan2 moksa dilakukan, jadi kita mencapai moksa tidak menunggu waktu sampai meninggal.
Mencapai Moksa.
Untuk mencapai moksa seseorang harus mempunyai persyaratan2 tertentu sehingga proses mencapai moksa dapat berjalan sesuai dengan norma2 ajaran agama Hindu. Dalam mencapai Moksa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu :
1. Dharma.
Dalam ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Catur Parusanta dijelaskan bahwa tujuan dari kehidupan adalah bagaimana untuk menegakkan Dharma, setiap tindakan harus berdasarkan kebenaran tidak ada dharma yang lebih tinggi dari kebenaran. Dalam Bagawad Gita disebutkan bahwa Dharma dan Kebenaran adalah nafas kehidupan. Krisna dalam wejangannya kepada Arjuna mengatakan bahwa dimana ada Dharma, disana ada Kebajikan dan Kesucian, dimana Kewajiban dan Kebenaran dipatuhi disana ada kemenangan. Orang yang melindungi dharma akan dilindungi oleh dharma maka selalu tempuhlah kehidupan yang suci dan terhormat.
Dalam zaman edan saat ini semua orang mengabaikan kebenaran, orang sudah menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan, krisis moral sudah meraja lela dimana mana, kebenaran dan keadilan sudah langka, orang sudah tidak mengenal budaya malu, semua perbuatannya dianggap sudah benar dan normal. Sebenarnya Dharma tidak pernah berubah, Dharma telah ada pada zaman dahulu, zaman sekarang dan zaman yang akan datang, ada sepanjang zaman tetapi setiap zaman mempunyai karateristik lain2 dalam melakukan latihan kerohanian (spiritual). Untuk Kerta Yuga latihan kerohanian yang baik adalah melakukan Meditasi, untuk Treta Yuga latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Yadnya atau kurban, untuk Dwapara latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Yoga yaitu upacara pemujaan dan untuk Kali Yuga latihan kerochanian yang baik adalah dengan melakukan Nama Smarana yaitu mengulang ngulang atau menyebut nama Tuhan yang suci.
2. Pendekatan kepada Yang Widhi Wasa
Untuk mendekatkan diri kehadapan Yang Widhi Wasa ada beberapa cara yang dilakukan Umat Hindu yaitu cara Darana (menetapkan cipta), Dhyana (memusatkan cipta), dan Semadi (mengheningkan cipta). Dengan melakukan latihan rochani , terutama dengan penyelidikan bathin, akan dapat menyadari kesatuan dan menikmati sifat Tuhan yang selalu ada dalam diri kita. Apabila sifat2 Tuhan sudah melekat dalam diri kita maka kita sudah dekat dengan Tuhan Yang Maha Esa sehingga segala permohonan kita akan dikabulkan dan kita selalu dapat perlindungan dan keselamatan.
3. Kesucian.
Untuk memperoleh pengetahuan suci, dan menghayati Yang Widhi Wasa dalam keberagaman dinyatakan dalam doa Upanishad yang termasyur : Asatoma Satgamaya, Tamasoma Jyothir Gamaya, Mrityorma Amritan Gamaya yang artinya, Tuntunanlah kami dari yang palsu ke yang sejati, tuntunlah kami dari yang gelap ke yang terang, tuntunlah kami dari kematian ke kekekalan.
Setiap kita melakukan kegiatan2, kita biasakan untuk memohon tuntunan kehadapan Yang Widhi Wasa agar kita selamat dan selalu dilindungi. Pekerjaan apapun kita lakukan, apabila kita bekerja demi Tuhan dan dipersembahkan kehadapan Yang Widhi Wasa, maka pekerjaan tersebut mempunyai nilai yang sangat tinggi. Dengan menghubungkan pekerjaan tersebut dengan Yang Widhi Wasa, maka ia menjadi suci dan mempunyai kemampuan dan nilai yang tinggi.
Tujuan dari kehidupan kita adalah agar atman terbebas dari triguna dan menyatu dengan Para atman. Didalam Weda disebut yaitu Moksartham Jaga Dhitaya Ca Iti Dharmah yang artinya adalah tujuan agama (Dharma) kita adalah untuk mencapai moksa (moksa artham) dan kesejahteraan umat manusia (jagadhita).
Ciri2 orang yang telah mencapai jiwatman mukti adalah.
1. Selalu mendapat ketenangan lahir maupun bathin.
2. Tidak terpengaruh dengan suasana suka maupun duka.
3. Tidak terikat dengan keduniawian.
4. Tidak mementingkan diri sendiri, selalu mementingkan orang lain (masyarakat banyak).

Untuk mencapai moksa juga mempunyai tingkatan2 tergantung dari karma (perbuatannya) selama hidupnya apakah sudah sesuai dengan ajaran2 agama Hindu. Tingkatan2 seseorang yang telah mencapai moksa dapat dikatagorikan sebagai berikut.
1. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rochani dengan meninggalkan mayat disebut Moksa.
2. Apabila seorang yang sudah mencapai kebebasan rochani dengan tidak meninggalkan mayat tetapi meninggalkan bekas2 misalnya abu, tulang disebut Adi Moksa.
3. Apabila seorang yang telah mencapi kebebasan rochani yang tidak meninggalkan mayat serta tidak membekas disebut Parana Moksa.
Catur Marga.
Untuk mencapai Moksa beberapa cara yang dapat ditempuh sesuai dengan bakat dan bidang yang digeluti saat ini yang disebut dengan Catur Marga ada juga yang menyebutkan dengan Catur Yoga yaitu empat jalan yang ditempuh untuk mencapai Moksa. Adapun keempat Catur Marga terdiri dari :
1. Jnana Marga Yoga.
Pada saat sekarang peranan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) sangat menentukan dalam pembangunan nasional disamping ilmu pengetahuan lainnya. Setiap negara akan berusaha sekuat tenaga dengan menggunakan resource yang ada untuk berkompetisi dalam bidang IPTEK, siapa yang menguasai IPTEK maka merekalah yang menguasai dunia ini. Kata Jnana artinya adalah kebijaksanaan filsafat atau pengetahuan, Yoga berasal dari urat kata YUJ yang artinya menghubungkan diri.
Jadi Janana Marga Yoga artinyga jalan untuk mencapai persatuan atau pertemuan antara Atman dengan Paramatman (Tuhan) berdasarkan atas pengetahuan (kebijaksanaan filsafat) terutama mengenai kebenaran dan pembebasan diri dari ikatan duniawi (maya). Dalam kehidupan ini kita memilih profesi pekerjaan kita sesuai dengan bakat yang diberikan oleh Sangyang Widhi Wasa dan latar belakang pendidikan kita atau pekerjaan yang sangat menarik yang kita geluti saat ini, sebab bakat yang diberikan oleh Tuhan adalah anugrah yang sangat tinggi nilainya yang merupakan hasil Karma kita dahulu sebelum kita Reinkarnasi sebagai manusia. Apabila kita ingin mengabdi kan diri dibidang ilmu pengetahuan, perlu diperhatikan adalah ilmu pengetahuan yang dapat membantu umat manusia dalam mengatasi kehidupan ini.
Sebagai ilustrasi dapat disampaikan sebagai berikut.
Pada zaman sekarang banyak manusia mengalami kesulitan dalam mengatasi penyakit, banyak penyakit yang belum diketemukan obatnya seperti AID, lever hati, tumor, kanker dan lain lainnya. Perkembangan ilmu kedokteran tidak dapat mengejar penyakit 2 yang timbul dalam masyarakat, peralatan rumah sakit masih menggunakan peralatan tradisional sehingga angka kematian di negara kita sampai sekarang masih cukup tinggi.
Para dokter yang bergerak dibidang kesehatan harus terus menerus melakukan penelitian atau Research And Development (R&D) sehingga semua kesulitan masyarakat dapat diatasi dengan baik dan murah dengan diketemukan obat2 yang mujarab. Seseorang yang mempunyai profesi dalam bidang kedokteran ini disebut dengan Jnana Marga Yoga dimana ilmu yang diabdikan demi kepentingan umat manusia.
2. Karma Marga Yoga.
Cara atau jalan untuk mencapai moksa (bersatunya Atman dengan Brahman), dengan selalu berbuat baik, tetapi tidak mengharapkan balasan atau hasilnya untuk kepentingan diri sendiri (amerih sukaning awah) disebut Karma Marga Yoga. Dalam Karma Marga Yoga, kita sebagai umat Hindu setiap tindak tanduk kita melakukan karya harus demi kepentingan masyarakat banyak dan jangan ada suatu keinginan untuk menikmati hasilnya, sebab kalau kita selalu berpikir hasilnya akan timbul keterikatan2, kalau keterikatan2 telah tumbuh dalam jiwa kita, maka ketenangan akan menjauh dari kenyataan, sehingga jiwa kita akan diracuni oleh Sad Ripu yaitu enam musuh utama manusia yang terdiri dari Kama, Lobha, Mada, Moha,Kroda, Matsarya (napsu, loba, kemarahan, kemabukan, kebingungan,iri hati). Didalam Bhagawad Gita disebutkan bahwa berulang kali Krisna berkata kepada Arjuna, lakukan tugasmu, lakukanlah pekerjaan yang benar tetapi jangan ingin menikmati hasil pekerjaan itu. Tujuan Krisna memberikan wejangan kepada Arjuna agar jangan meli
hat hasil nya adalah, kita sebagai pelaku benar2 dalam bekerja semua perbuatan kita yaitu karma diubah menjadi Yoga sehingga kegiatan tersebut membawa kita menuju persatuan dengan Tuhan maka ini disebut dengan Karma Marga Yoga. Apabila seseorang sudah dapat melakukan pekerjaan tanpa melihat hasilnya maka ia akan menjadi orang yang benar2 bijaksana (Stithaprajna), yang tidak terpengaruh dengan keadaan suka dan duka atau gembira dan sedih.

Perbuatan adalah karma , setiap orang lahir dari karma, hidup dalam karma dan mati dalam karma, karma sumber dari baik dan buruk dosa atau kebajikan, laba atau rugi, kebahagiaan atau kesedihan, sebenarnya karmalah penyebab kelahiran, maka karma dalam kehidupan merupakan masalah yang sangat penting.
Sebagai ilustrasi dapat diceritrakan sebagai berikut.
Diumpamakan badan kita adalah sebuah jam dinding, dan nafas kita adalah pegasnya yang menyebabkan jarum jam dapat berputar, dan baterynya adalah tenaga manusia. Tanpa nafas dan tenaga, manusia tidak dapat berbuat apa apa yaitu berkarma, maka perbuatan (karma) sangat tergantung dengan nafas (pegas) dan tenaga (batery). Dengan kekuatan batery (tenaga) maka jarum jam yang terdiri dari tiga jarum yaitu jarum yang paling panjang disebut jarum detik, jarum yang menengah disebut dengan jarum menit dan jarum yang paling pendek disebut jarum jam. Ketiga jarum akan berputar dengan kecepatan yang berbeda beda dan saling ketergantungan satu sama lainnya, tetapi masing2 jarum akan berputar sesuai dengan fungsinya.
Apabila jarum detik telah berputar 60 kali maka jarum menit akan mengikuti berputar hanya sekali, demikian saat jarum menit telah berputar 60 kali maka jarum jam akan berputar sekali demikian seterusnya dengan menggunakan kelipatan 60. Setiap gerakan jarum detik kita umpakan adalah karma (perbuatan), untuk gerakan jarum menit kita umpamakan adalah perasaan dan untuk gerakan jarum jam kita umpamakan adalah kebahagiaan. Untuk mencapai suatu kebahagiaan yang terus menerus kita harus selalu berbuat (berkarma) baik, setiap tindakan kita selalu tanamkan kebaikan yang menyebabkan perasaan kita mendapat rangsangan kebaikan tersebut sehingga kita merasa senang.
Apabila perasaan kita telah mencapai kesenangan terus menerus akibat kita selalu berbuat (karma) baik terhadap seseorang, maka menyebabkan kita akan mencapai kebahagiaan, sebab karma (perbuatan), perasaan, dan kebahagian saling keterkaitan seperti ketiga jarum jam berputar saling ketergantungan satu sama lainnya.
Makin banyak kita ber karma baik maka perasaan dan kebahagian akan selalu mengikuti seperti perputaran jarum jam, apabila jarum detik tidak bergerak jangan harap jarum menit bergerak apalagi jarum jam Kebahagian akan dicapai dalam kehidupan ini apabila kita selalu berkarma baik
3. Bakti Marga Yoga.
Jalan atau cara untuk mencapai moksa atau kebebasan, yaitu bersatunya Atman dengan Tuhan dengan melakukan sujud bakti kehadapan Yang Widhi Wasa. Bakti adalah cinta yang mendalam kepada Tuhan, bersifat tanpa pamerih sedikitpun dan tanpa keinginan duniawi apapun juga. Bagi umat Hindu untuk melakukan Bakti Marga Yoga dengan menyanyikan nama2 Tuhan secara ber ulang2, bergaul dengan orang2 Suci yang mempunyai bakti, konsentrasi pikiran setiap saat kepada Tuhan, dan jalan Bakti ini adalah yang paling mudah dilakukan. Seperti setiap hari kita melakukan Trisandya dengan mengucapkan Gayatri Mantra tiga kali sehari.
Untuk menanamkan rasa Bakti kehadapan Yang Widhi Wasa , sebaiknya anak mulai kecil dididik mengucapkan Mantra Gayatri dengan memberi penjelasan makna dan arti masing2 bait, sehingga meresap dalam pikiran mereka dan dapat menuntun ajaran2 kebenaran (Dharma). Kalau belum hafal sebaiknya dibaca saja dan usahakan dengan suara yang lembut sehingga benar2 meresap dalam hati sanubari kita dan bayangkan Brahman ada dalam pikiran dan renungkan secara terus menerus selama melagukan Gayatri Mantra Dengan selalu melantunkan Gayatri Mantra terus menerus , maka kita seolah olah menyatu dengan Tuhan atau bersatunya Atman dengan Tuhan., sehingga kita mendapat ketenangan, kedamaian, keselamatan dan kesejahteraan.Dalam melakukan Bakti Marga Yoga terutama upacara piodalan di Pura2 diseluruh Indonesia, masyarakat Hindu sudah mempunyai cara upacara bakti (persembahyangan) secara baku, dimanapun kita melakukan persembahyangan sudah tersusun sama, dan Mantra Gayatri selalu dilantunkan sebelum persembahyangan dimulai.
Pada saat Pendeta melakukan upacara piodalan juga dinyanyikan lagu2 warga sari sebagai pemujaan kehadapan Yang Widhi Wasa yang mempunya makna adalah agar sebelum persembahyangan dimulai kita sudah mulai rasakan menyatunya Atman dengan Brahman.
4. Raja Marga Yoga.
Jalan untuk mencapai moksa menurut agama Hindu dapat dilakukan melalui Tapa, Brata, Yoga, dan Semadi. Untuk mengendalikan diri dengan melakukan latihan2 untuk mengatasi Sadripu disebut dengan Tapa, Brata, sebab apabila Sadripu kita sudah dapat kendalikan maka jalan mencapai moksa lebih mudah. Disamping mengendalikan Sad Ripu, kita juga melakukan latihan2 untuk dapat menyatukan Atman dengan Tuhan yang disebut dengan Yoga dan Semadi, dengan melakukan konsentrasi yang setepat tepatnya dalam ketenangan dan suasana syandu sempurna sehingga kita dapat menyatu dengan Tuhan.
Sebagai ilustrasi dapat diceritrakan sebagai berikut.
Didalam suatu pesraman di Hutan rimba ada seorang resi yang bernama Resi Suka yang memberikan dharma wecana kepada murid2nya yaitu yoga, semadi diantara murid2 nya ada seorang raja bernama raja Jenaka.Raja Jenaka disamping mempunyai kerajaan yang sangat besar dan kaya juga berkeinginan belajar spiritual(Yoga,semadi) kepada Resi Suka yang sangat terkenal ilmu spiritualnya. Banyak ujian2 yang diberikan kepada para siswanya agar dapat mencapai moksa dalam kehidupan ini dengan meninggalkan keduniawian dengan melepaskan semua keterikatan2 sehingga Atman menyatu dengan Brahman.Pada suatu hari Resi Suka agak terlambat memberikan dharma wecana sehubungan Raja Jenaka ada keperluan kerajaan yang sangat mendesak yang tidak boleh diwakili. Resi Suka dengan sengaja menunggu Raja Jenaka, ingin menguji kesabaran para muridnya apakah dapat mengekang sad ripu sebagai dasar pelajaran Yoga.
Dari pengamatan Resi Suka banyak para muridnya gelisah dan gusar dan kadang2 timbul marah tidak sabar menunggu sampai ada yang protes bahwa pelajaran dimulai saja, mengapa kita di beda2kan orang biasa dengan raja Setelah raja datang dharma wecana baru dimulai dan resi Suka memberikan wejangan, kita harus dapat mengendalikan sad ripu sehingga kita dapat ketenangan bathin. Setelah dharma wecana selesai maka pelajaran dilanjutkan dengan yoga, semadi, dan pelajaran ini harus dilakukan dengan konsentrasi pikiran secara penuh.
Dengan suasana hening sepi hanya suara jengkrik yang kedengaran, para muridnya sedang asyik melakukan yoga semadi, tiba2 Resi dengan berteriak bahwa sedang ada kebakaran di kota kerajaan, murid2nya pada bubar berlari lari pergi ke kota kerajaan ingin menyelamatkan harta dan rumahnya yang kebakaran. Tetapi raja Jenata tidak bergeming sedikitpun, dia telah masuk dalam keadaan Semadi, beliau berbahagia dalam Atman.
Resi mengamati wajah raja dengan perasaan sangat gembira. Setelah beberapa murid2 yang lari kembali bahwa dikota tidak ada kebakaran dan resipun memberikan penjelasan arti dari peristiwa tersebut. Penundaan mulainya dharma wecana adalah untuk menghormati raja, karena beliau telah menghapuskan keakuannnya kebanggaannya dan mempunyai kerendahan hati dan melatih mengendalikan sadripu dan berhasil dengan baik dan ini perlu dicontoh oleh semua muridnya. Dan peristiwa kebakaran di kota kerajaan sebenarnya tidak pernah terjadi, peristiwa kebakaran adalah rekayasa Resi dan ini merupakan ujian dari Resi Suka.Kalau mau berhasil sebagai seorang spiritual (Yogi) harus berani melepaskan semua keduniawian yaitu keterikatan2, tanpa ada kemauan untuk menghilangkan keterikatan2 ini tidak mungkin tercapai tujuannya yaitu sebagai seorang Yogi.
Semua latihan2 ini membutuhkan ketekunan, tulus iklas, kesujudan iman dan tanpa pamerih. Pada akhir2 ini banyak generasi muda sudah melakukan latihan2 Yoga dan Semadi, dan buku2 penuntun untuk yang baru memulai belajar Yoga dan Semadi sudah cukup banyak beredar di toko2 buku, dan suasana ini sangat membantu bagi umat hindu untuk belajar masalah spiritual melalui Raja Marga Yoga.
Diantara keempat Marga Yoga tersebut diatas semuanya adalah sama tidak ada yang lebih tinggi kedudukannya, umat Hindu dapat memilih dari keempat Marga Yoga tersebut tergantung dari bakat masing2 dan jalan yang satu akan berhubungan dengan yang lain semuanya akan mencapai tujuan yang sama yaitu Moksa.

sumber : parisada.org

Makna dan Tujuan Upacara Ngaben



Ngaben merupakan salah satu upacara besar di Bali. Salah satu rangkaian upacara Pitra Yadnya ini merupakan upacara untuk orang yang sudah meninggal. Ngaben adalah upacara penyucian atma (roh) fase pertama, sebagai kewajiban suci umat Hindu Bali terhadap leluhurnya, dengan melakukan prosesi pembakaran jenazah. Ngaben sendiri adalah peleburan dari ajaran Agama Hindu dengan adat kebudayaan di Bali.

Di setiap daerah di Bali adalah hal yang lazim jika urutan acara dalam tata cara pelaksanaan Ngaben akan berbeda walaupun esensi upacara tersebut sama. Ini berkaitan dengan kepercayaan adat Bali yang mengenal adanya Desa Kala Patra yang secara harfiah di terjmahkan menjadi tempat, waktu dan keadaan.

Jenasah diletakkan selayaknya sedang tidur, dan keluarga yang ditinggalkan akan senantiasa beranggapan demikian (tertidur). Di dalam Panca Yadnya, upacara ini termasuk dalam Pitra Yadnya, yaitu upacara yang ditujukan untuk roh lelulur. Makna upacara Ngaben pada intinya adalah untuk mengembalikan roh leluhur (orang yang sudah meninggal) ke tempat asalnya.

Upacara Ngaben biasanya dilaksanakan oleh keluarga sanak saudara dari orang yang meninggal, sebagai wujud rasa hormat seorang anak terhadap orang tuanya. Upacara Ngaben biasanya dilakukan dengan semarak, tidak ada isak tangis, karena di Bali ada suatu keyakinan bahwa kita tidak boleh menangisi orang yang telah meninggal, karena itu dapat menghambat perjalanan sang arwah menuju tempatnya. Mereka beranggapan bahwa, memang jenasah untuk sementara waktu tidak ada, tetapi akan menjalani reinkarnasi atau menemukan pengistirahatan terakhir di Moksha (bebas dari roda kematian dan reinkarnasi).

Seperti yang tertulis tentang pitra yadnya, badan manusia terdiri dari badan kasar, badan halus dan karma. Badan kasar manusia dibentuk dari 5 unsur yang disebut Panca Maha Bhuta yaitu pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas) bayu (angin) dan akasa (ruang hampa). Kelima unsur ini menyatu membentuk fisik manusia dan digerakan oleh atma (roh).

Seorang Pedanda mengatakan manusia memiliki Bayu, Sabda, Idep, dan setelah meninggal Bayu, Sabda, Idep itu dikembalikan ke Brahma, Wisnu, Siwa. Ketika manusia meninggal yang mati adalah badan kasar saja, atma-nya tidak. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian atma/roh saat meninggalkan badan kasar.

Ada beberapa pendapat tentang asal kata ngaben. Ada yang mengatakan ngaben dari kata beya yang artinya bekal, ada juga yang mengatakan dari kata ngabu (menjadi abu).

Dalam Hindu, diyakini bahwa Dewa Brahma, disamping sebagai dewa pencipta juga adalah dewa api. Jadi, Ngaben adalah proses penyucian roh dengan menggunakan sarana api, sehingga bisa kembali ke sang pencipta yaitu Brahma. Api yang digunakan adalah api konkrit untuk membakar jenazah, dan api abstrak berupa mantra pendeta untuk mem-pralina yaitu membakar kekotoran yang melekat pada atma/roh.

Upacara Ngaben atau sering pula disebut upacara Pelebon kepada orang yang meninggal dunia, dianggap sangat penting, ramai dan semarak, karena dengan pengabenan itu keluarga dapat membebaskan arwah orang yang meninggal dari ikatan-ikatan duniawinya, menuju surga, atau menjelma kembali ke dunia melalui reinkarnasi, dan ini sangat tergantung dari karmaphala selama masih hidup.

Ngaben tidak senantiasa dilakukan dengan segera. Untuk anggota kasta yang tinggi, sangatlah wajar untuk melakukan ritual ini dalam waktu 3 hari. Tetapi untuk anggota kasta yang rendah, karena upacara ini memerlukan tenaga, biaya dan waktu yang panjang dan besar, maka hal ini sering dilakukan begitu lama setelah kematian. Jenasah terlebih dahulu dikuburkan dan kemudian, biasanya baru akan dilakukan ritual Ngaben, secara bersama-sama dalam satu kampung.

Untuk menanggung beban biaya, tenaga dan lain-lainnya, kini masyarakat sering melakukan pengabenan secara massal / bersama. Jasad orang yang meninggal sering dikebumikan terlebih dahulu sebelum biaya mencukupi, namun bagi beberapa keluarga yang mampu upacara ngaben dapat dilakukan secepatnya dengan menyimpan jasad orang yang telah meninggal di rumah, sambil menunggu waktu yang baik. Selama masa penyimpanan di rumah itu, roh orang yang meninggal menjadi tidak tenang dan selalu ingin kebebasan.

Hari baik biasanya diberikan oleh para pendeta (Pedanda), setelah melalui konsultasi dan kalender yang ada. Persiapan biasanya diambil jauh-jauh sebelum hari baik ditetapkan. Pada saat inilah keluarga, dibantu oleh masyarakat mempersiapkan sarcophagus atau “bade dan lembu” atau Wadah berbentuk vihara atau padma, sebagai symbol rumah Tuhan. Bade dan Lembu yang disiapkan biasanya sangat megah, terbuat dari bambu, kayu, kertas yang beraneka warna-warni sesuai dengan golongan atau kedudukan sosial ekonomi keluarga bersangkutan. “Bade dan Lembu” ini merupakan tempat mayat yang akan dilaksanakan Ngaben.

Prosesi ngaben dilakukan dengan berbagai proses upacara dan sarana upakara berupa sajen dan kelengkapannya, sebagai simbol-simbol seperti halnya ritual lain yang sering dilakukan umat Hindu Bali. Ngaben dilakukan untuk manusia yang meninggal dan masih ada jenazahnya, juga manusia meninggal yang tidak ada jenazahnya seperti orang tewas terseret arus laut dan jenazah yang tidak diketemukan, kecelakaan pesawat yang jenazahnya sudah hangus terbakar, atau seperti saat kasus bom Bali 1, dimana beberapa jenazah tidak bisa dikenali karena sudah terpotong-potong atau jadi abu akibat ledakan.

Untuk prosesi ngaben yang jenazahnya tidak ada dilakukan dengan membuat simbol dan mengambil sekepal tanah dilokasi meninggalnya, kemudian dibakar. Banyak tahap yang dilakukan dalam ngaben. Dimulai dari memandikan jenazah, ngajum, pembakaran dan nyekah. Setiap tahap ini memakai sarana banten (sesajen) yang berbeda-beda. Ketika ada yang meninggal, keluarganya akan menghadap ke pendeta untuk menanyakan kapan ada hari baik untuk melaksanakan ngaben. Biasanya akan diberikan waktu yang tidak lebih dari 7 hari sejak hari meninggalnya.

Setelah didapat hari H (pembakaran jenazah), pada pagi hari ketika upacara ini akan dilaksanakan, maka pihak keluarga dan sanak saudara serta masyarakat akan berkumpul mempersiapkan upacara ritual pertama yaitu nyiramin layon(memandikan jenazah). Jenazah akan dimandikan oleh kalangan brahmana sebagai kelompok yang karena status sosialnya mempunyai kewajiban untuk itu atau orang yang dianggap paling tua di dalam masyarakat. Selesai memandikan, jenazah akan dikenakan pakaian adat Bali lengkap, seperti layaknya orang yang masih hidup.

Selanjutnya adalah prosesi ngajum, yaitu prosesi melepaskan roh dengan membuat simbol-simbol menggunakan kain bergambar unsur-unsur penyucian roh.

Sebelum acara puncak dilaksanakan, seluruh keluarga akan memberikan penghormatan terakhir dan memberikan doa semoga arwah yang diupacarai memperoleh tempat yang baik. Setelah semuanya siap, maka mayat akan ditempatkan di “Bade” tempat jenazah yang akan diusung ke kuburan, secara beramai-ramai ke tempat upacara Ngaben, diiringi dengan “gamelan”, “kidung suci”, dan diikuti seluruh keluarga dan masyarakat. Bentuk lembu atau vihara ini, dibawa ke tempat kremasi melalui suatu prosesi. Prosesi ini tidak berjalan pada satu jalan lurus. Hal ini guna mengacaukan roh jahat dan menjauhkannya dari jenasah.

Di depan “Bade” terdapat kain putih yang panjang yang bermakna sebagai pembuka jalan sang arwah menuju tempat asalnya. Di setiap pertigaan atau perempatan maka “Bade” akan diputar sebanyak 3 kali.

Sesampainya di kuburan, biasanya dilakukan di kuburan desa setempat, upacara Ngaben dilaksanakan dengan meletakkan mayat ke pemalungan (“lembu”), yaitu tempat membakar jenazah yang terbuat dari tumpukan batang pohon pisang, yang telah disiapkan, yang sebelumnya diawali dengan upacara-upacara lainnya dan doa mantra dari Ida Pedanda, kemudian “Lembu” dibakar sampai menjadi Abu. Abu ini kemudian dibuang ke Laut atau sungai yang dianggap suci.

Disini kembali dilakukan upacara penyucian roh berupa pralina oleh pendeta atau orang yang dianggap mampu untuk itu (biasanya dari clan brahmana). Pralina adalah pembakaran dengan api abstrak berupa mantra peleburan kekotoran atma yang melekat ditubuh. Kemudian baru dilakukan pembakaran dengann menggunakan api kongkrit. Jaman sekarang sudah tidak menggunakan kayu bakar lagi, tapi memakai api dari kompor minyak tanah yang menggunakan angin.

Umumnya proses pembakaran dari jenazah yang utuh menjadi abu memerlukan waktu 1 jam. Abu ini kemudian dikumpulkan dalam buah kelapa gading untuk dirangkai menjadi sekah. Sekah ini yang dilarung ke laut, karena laut adalah simbol dari alam semesta dan sekaligus pintu menuju ke rumah Tuhan.

Setelah upacara ini, keluarga dapat tenang mendoakan leluhur dari tempat suci dan pura masing-masing. Inilah yang menyebabkan ikatan keluarga di Bali sangat kuat, karena mereka selalu ingat dan menghormati lelulur dan juga orang tuanya. Terdapat kepercayaan bahwa roh leluhur yang mengalami reinkarnasi akan kembali dalam lingkaran keluarga lagi, jadi biasanya seorang cucu merupakan reinkarnasi dari orang tuanya.

Demikian secara singkat rangkaian prosesi ngaben di Bali. Ada catatan lain yaitu untuk bayi yang berumur dibawah 42 hari dan atau belum tanggal gigi, jenazahnya harus dikubur. Ngabennya dilakukan mengikuti ngaben yang akan ada jika ada keluarganya yang meninggal.

Status kelahiran kembali roh orang yang meninggal dunia, berhubungan erat dengan karma dan perbuatan serta tingkah laku selama hidup sebelumnya. Secara umum, orang Bali merasakan bahwa roh yang lahir kembali ke dunia hanya bisa di dalam lingkaran keluarga yang ada hubungan darah dengannya. Lingkaran hidup mati bagi orang Bali adalah karena hubungannya dengan leluhurnya.

Setiap orang tahu bahwa di satu saat nanti dia akan menjadi leluhur juga, yang di dalam perjalannya di dunia lain harus dipercepat dan mendapatkan perhatian cukup bila sewaktu-waktu nanti kembali menjelma ke Pulau yang dicintainya, Pulau Bali.

article by : http://www.wisatabaliaga.com/blog/makna-dan-tujuan-ngaben-di-bali/

Pengertian Tat Twam Asi


Tat twam asi (bahasa Sanskerta: तत् त्वम् असि atau तत्त्वमसि) adalah kalimat Sanskerta. Secara harfiah, kalimat ini berarti "Itu adalah kau" (jika dipadankan dengan bahasa Inggris dari rumpun bahasa Indo-Eropa maka diartikan That [tat] thou [twam] art [asi] atau That you are). Kalimat ini merupakan salah satu Mahāvākya (Semboyan Utama) dalam Sanatana Dharma berlandaskan Weda
Mulanya kalimat ini muncul dalam kitab Chandogya Upanishad 6.8.7, dalam dialog antaraUdalaka dan putranya, Swetaketu; kalimat ini muncul pada bagian akhir, dan diulang-ulang pada bagian selanjutnya. Makna kalimat ini adalah sang diri—dalam kondisi asli, murni, tulen—merupakan bagian yang identik atau persis dengan kebenaran sejati yang merupakan dasar atau asal dari segala fenomena di dunia.
Perguruan Adwaita yang didirikan Adi Shankara menekankan pentingnya Mahāvākya tersebut (dan tiga lainnya dari tiga Upanishad lainnya). Tat twam asi berarti "itu adalah kau". "Kau" di sini mengacu pada substrat yang tak lepas dari setiap individu. Hal tersebut bukanlah tubuh, pikiran, panca indra, atau sesuatu yang dapat teramati. Hal tersebut adalah sesuatu yang paling dasar, jauh dari segala sifat keakuan. Dalam pengertian ini, "kau" berarti atman. Entitas yang dimaksud dengan kata "itu", menurut Weda, adalah Brahman, realitas yang melampaui segala sesuatu yang terbatas.
Perguruan Weda lainnya memberikan penafsiran yang berbeda-beda mengenai kalimat tersebut:
  • Suddhadwaita: kesatuan dalam "esensi" antara 'tat' dan diri individu; namun 'tat' adalah keseluruhan sementara sang diri hanyalah bagian.
  • Wisistadwaita: identitas diri individu sebagai bagian dari keseluruhan yang dinyatakan oleh 'tat', yaitu Brahman.
  • Dwaitadwaita: kesamaan dan perbedaan yang setara antara sang diri sebagai bagian dari suatu keseluruhan yang dinyatakan dengan 'tat'.
  • Acintya Bheda Abheda: kesatuan dan perbedaan yang tak terpikirkan/sulit dibayangkan antara sang diri sebagai bagian dari keseluruhan yang dinyatakan dengan 'tat'.

Penjelasan dari sumber kaskus.co.id :
Di dalam kitab Candayoga Upanisad, ada disebutkan Tat Twam Asi. Di dalam filsafat Hindu dijelaskan bahwa Tat Twam Asi adalah ajaran kesusilaan yang tanpa batas, yang identik dengan perikemanusiaan dalam Pancasila. Konsepsi sila perikemanusiaan dalam Pancasila, bila kita cermati secara sungguh-sungguh merupakan realisasi ajaran Tat Twam Asi yang terdapat dalam kitab suci weda. Dengan demikian, dapat dikatakan mengerti dan memehami, serta mengamalkan/melaksanakan Pancasila berarti telah melaksanakan ajaran weda. Karena maksud yang terkandung didalam ajaran Tat Twam Asi “ia adalah kamu, saya adalah kamu, dan semua makhluk adalah sama” sehingga bila kita menolong orang lain berarti juga menolong diri kita sendiri.

Bentuk-bentuk ajaran Tat Twam Asi
Tat Twam Asi adalah ajaran moral yang bernafaskan ajaran agama Hindu. Wujud nyata /riil dari ajaran ini dapat kita cermati dalam kehidupan dan prilaku keseharian dari umat manusia yang bersangkutan. Manusia dalam hidupnya memiliki berbagai macam kebutuhan hidup yang dimotifasi oleh keinginan(kama) manusia yang bersangkutan.Sebelum manusia sebagai makhluk hidup itu banyak jenis, sifat, dan ragamnya, seperti manusia sebagai makhluk, individu, sosial, religius, ekonomis, budaya, dan yang lainnya. Semua itu harus dapat dipenuhi oleh manusia secara menyeluruh dan bersamaan tanpa memperhitungkan situasi dan kondisinya serta keterbatasan yang dimilikinya, betapa susah yang dirasakan oleh individu yang bersangkutan. Disinilah manusia perlu mengenal dan melaksanakan rasa kebersamaan, sehingga seberapa berat masalah yang dihadapinya akan terasa ringan. Dengan memahami dan mengamalkan ajaran Tat Twam Asi, manusia akan dapat merasakan berat dan ringan hidup dan kehidupan ini.Semua diantara kita ini tahu bahwa berat dan ringan Rwabhineda itu ada dan selalu berdampingan adanya, serta sulit dipisahkan keberadaanya. Demikian adanya maka dalam hidup ini kita hendaknya selalu sering tolong menolong, merasa senasib dan sepenanggungan.
Misalnya, bila masyarakat Bali ditimpa bencana Bom, sebagai akibat dari bencana itu bukan hanya dirasakan oleh masyarakat Bali sendiri, melainkan juga dirasakan oleh masyarakat Indonesia, bahkan masyarakat duniapun juga ikut terkena biasnya. Bila seorang anak mendapat halangan /kecelakaan sehingga merasa sedih, rasa sedih yang diderita oleh anak yang bersangkutan juga dirasakan oleh orang tuanya. Demikian juga yang lainnya akan selalu dirasakan secara kebersamaan /sosial oleh masing-masing individu yang bersangkutan.
Jiwa sosial ini seharusnya diresapi dengan sinar-sinar kesusilaan tuntunan Tuhan dan tidak dibenarkan dengan jiwa kebendaan semata.Ajaran Tat Twan Asi selain merupakan jiwa filsfat social, juga merupakan dasar dari tata susila Hindu di dalam usaha untuk mencapai perbaikan moral. Susila adalah tingkh laku yang baik dan mulia untuk membina hubungan yang selaras dan rukun diantara sesama makhluk hidup lainnya yang diciptakan oleh Tuhan. Sebagai landasan/pedoman guna membina hubungan yang selaras, maka kita mengenal, mengindahkan, dan mengamalkan ajaran moralitas itu dengan sungguh-sungguh 

maka dari itu walau kita berbeda , baik itu ras , suku bangsa , budaya , maupun agama kita mesti bisa menjaga kerukunan antara umat manusia...

Pengertian Susila

image : google.com
Susila merupakan kerangka dasar Agama Hindu yang kedua setelah filsafat (Tattwa). Susila memegang peranan penting bagi tata kehidupan manusia sehari- hari. Realitas hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya akan menentukan sampai di mana kadar budi pekerti yang bersangkutan. la akan memperoleh simpati dari orang lain manakala dalam pola hidupnya selalu mencerminkan ketegasan sikap yang diwarnai oleh ulah sikap simpatik yang memegang teguh sendi- sendi kesusilaan.

Di dalam filsafat (Tattwa) diuraikan bahwa agama Hindu membimbing manusia untuk mencapai kesempurnaan hidup seutuhnya, oleh sebab itu ajaran sucinya cenderung kepada pendidikan sila dan budi pekerti yang luhur, membina umatnya menjadi manusia susila demi tercapainya kebahagiaan lahir dan batin. 

Kata Susila terdiri dari dua suku kata: "Su" dan "Sila". "Su" berarti baik, indah, harmonis. "Sila" berarti perilaku, tata laku. Jadi Susila adalah tingkah laku manusia yang baik terpancar sebagai cermin obyektif kalbunya dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya.

Pengertian Susila menurut pandangan Agama Hindu adalah tingkah laku hubungan timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berlandaskan atas korban suci (Yadnya), keikhlasan dan kasih sayang. 

Pola hubungan tersebut adalah berprinsip pada ajaran Tat Twam Asi (Ia adalah engkau) mengandung makna bahwa hidup segala makhluk sama, menolong orang lain berarti menolong diri sendiri, dan sebaliknya menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Jiwa sosial demikian diresapi oleh sinar tuntunan kesucian Tuhan dan sama sekali bukan atas dasar pamrih kebendaan. Dalam hubungan ajaran susila beberapa aspek ajaran sebagai upaya penerapannya sehari- hari diuraikan lagi secara lebih terperinci.

Pengertian Karma Phala dan Punarbhawa



Karma Phala dikenal di agama Hindu sebagai agama Universal jadi semua orang baik dari manapun dapat membaca ini. Jika anda ingin tahu lebih jauh dari arti hukum karma phala mari kita baca artikel yang sederhana ini.

       Karma Phala merupakan hukum sebab akibat yang berlaku untuk semua makhluk hidup di Dunia. Hukum ini merupakan hukum yang terorganisir jauh lebih baik dari pada teknologi, tidak dapat dihindari dan bersifat Universal(untuk semua makhluk). Pada kehidupan kita sekarang yang kita bawa merupakan hasil dari karma yang kita lakukan dikehidupan yang sebelumnya. Rupa muka, Tempat dilahirkan, Keluarga dan Semua orang yang pernah kita temui merupakan pengaruh karma phala. Contoh : Keluarga merupakan orang yang sangat dekat dengan kita itu pula karma kita sangat dekat dengan ayah,ibu, dan saudara kita menjadikan kita terlahir di Keluarga itu. Karma itu andaikan buah yang kita tanam jika kita menanam buah mangga maka kita juga akan memetik buah mangga tersebut. Dalam kata lain karma akan terus berlangsung selama kita masih tidak sadar bahwa hidup ini maya jadi kita hanya bisa tabah dan jangan terpancing oleh lautan neraka ini.

           Karma itu bersifat sangat teliti, terorganisir dan tidak ada orang yang bisa lari dari karmanya sendiri. Banyak orang berkata “mari kita menebus dosa kita agar dosa-dosa kita bisa hilang”, sebenarnya tidak ada yang namanya dosa yang ada hanyalah karma baik(yang kita kenal pahala) dan karma buruk(yang kita kenal dosa). Sejujurnya
karma buruk itu tidak bisa dihapus ataupun dihilangkan karena jika kita pernah melakukan perbuatan buruk pada orang lain maka mau tidak mau kita harus menerima kembali hasil dari perbuatan kita. Contohnya : Jika kita menghina orang lain maka didalam hati orang lain itu akan terluka dan beberapa detik kemudian anda akan ditampar.

         Karma yang kita lakukan secara menyakiti rohani bukan berarti kita akan di hina juga tetapi kita harus menerima sakit yang sama yang dirasakan oleh orang yang kita hina, seperti ditampar.
Andaikata anda memiliki orang yang dicintai dan orang yang anda benci, lalu pada suatu hari anda dipukul oleh orang yang anda benci, pasti anda langsung emosi dan bisa-bisa anda balik memukulnya. Sedangkan jika anda dipukul oleh orang yang anda cintai maka pukuln itu akan terasa berbeda walaupun kuat pukulannya sama tetapi perasaan waktu dipukul itu berbeda maka anda pun tidak marah karena itu orang yang anda cintai, bukan begitu !..


       Yang membuat karma buruk kita tergantung pada sakit yang dirasakan yang dirasakan oleh orang. Sedangkan karma baik kita tergantung pada rasa bahagia yang dirasakan orang oleh karena perbuatan kita.
Oleh karena itu jika anda dihina bahkan dilecehkan orang lain maka bertabahlah karena nanti orang yang menghina anda akan merasakan sendiri rasa sakit yang anda rasakan, sebaliknya jika anda terpancing dan menghina balik maka anda pun sama halnya dengan dia dan akan menerima karma anda sendiri.

         Segala pertemuan kita dengan orang lain tidak ada yang kebetulan, pertemuan kita dengan orang lain juga merupakan ikatan karma kita yang menjadikan kita bertemu dengan orang itu. Andaikata kita mencoba lari dari orang itu tetapi takdir kita menentukan akan bertemu maka cepat ataupun lambar kita akan bertemu juga. Jika kita iri pada orang lain entah orang itu lebih kaya pada materi, rupa ataupun raga janganlah kita katakan Tuhan itu tidak adil karena semua yang terjadi pada diri kita baik hidup kita, tempat kita dilahirkan ataupun rupa itulah hasil dari perbuatan/karma kita sendiri. Banyak orang berkata bahwa semua itu hanyalah takdir jadi ikhlas saja, pernyataan itu tidak sepenuhnya benar karena walaupun takdir dari hasil karma kita sudah ditentukan sejak kita lahir tetapi kita harus tetap berusaha agar karma baik tetap berjalan baik dan karma buruk dapat di netralisir. Kata di netralisir bukan berarti karma buruk kita hilang dan kita bisa bebas dari karma itu, karena seperti yang saya telah katakan bahwa karma itu tidak bisa dihapus tetapi bisa diringankan jika kita rajin beribadah dan bertobat maka tidak ada yang tidak mungkin karena Tuhan itu maha baik, belum lagi pertolongan dari karma baik kita yang ikut membantu menetralisir karma buruk kita. Jadi diringankan agar karma buruk kita tidak terlalu terasa sakit. Contohnya : Pada siang hari, pada waktu itu suhu sekitar 32 derajat Celcius(anggap bahwa terik matahari itu merupakan karma buruk kita) lalu ada terpaan angin kencang dengan kecepatan 32kilometer/jam(anggap terpaan angin itu merupakan karma baik kita) maka rasa panas dari terik matahari itu akan terasa berkurang, tetapi apakah matahari menurunkan panasnya ? tentu saja tidak tetapi angin yang berhembus itu yang mengurangi panasnya terik matahari itu. Nah itulah yang disebut dinetralisir rasa sakit itu berkurang karena ada yang mengurangi rasa sakit itu.

       Sekarang kita renungi sejenak betapa banyak karma buruk yang telah kita perbuat tetapi jangan memikirkan karma baik yang kita perbuat. Contohnya : Jika kita menolong orang, tetapi kita menolong orang itu agar nanti orang itu dapat menolong kita, janganlah kita seperti itu karena dalam setiap perbuatan, kita harus berbuat Ikhlas yakni berbuat tanpa memikirkan tujuan. Coba kita ambil suatu fakta nyata : Jika anda melihat seorang pengemis kelaparan dijalanan dan anda memberi makan pengemis itu maka siapalah orang yang tertolong ?…………Mungkin kita berpikir yang tertolong itu adalah pengemis itu karena jika kita tak memberi makan pengemis itu mungkin ia akan mati !.Tapi itu adalah suatu fakta yang salah bukanlah pengemis itu yang tertolong tetapi kita menolong diri kita sendiri karena walaupun kita tidak memberi makan pengemis itu jika itu belum saatnya pengemis itu mati maka ia tidak akan mati ! 

 

           Saya mendapat suatu cerita yang sangat berharga yang saya dapat dari buku yang entah saya dapat dari mana. Dimana Takdir berdasrkan karma bukannya karma berdasarkan takdir. Mari kita simak . ! Percayakah anda pada ramalan garis tangan, rasi bintang, dan lain-lain. Jika tidak percaya itu wajar bagi orang biasa tapi coba kita dalami. Ketika kita terlahir didunia kita tidak membawa apa-apa, tidak ada harta ataupun yang lainny, kita hanya membawa karma baik dan karma buruk yang masih ada pada diri kita. Pertanyaannya bagaimana bisa ?……..Coba kita tatap diri kita sendiri ! Apakah anda pernah merasa iri karena kekurangan anda baik secara fisik ataupun psikis.. Pastinya pernah bukan ! Dan pernahkah anda menyadari mengapa aku terlahir seperti ini dan dia terlahir seperti itu. Apakah Tuhan itu tidak adil pikirnya ! Tetapi tuhan itu maha adil tidak ada orang yang mendapat hasil yang baik dari karma buruk ataupun mendapat hasil yang buruk dari karma baik !. Semuanya merupakan hasil dari apa yang telah kita lakukan. Jika anda masih berkata bahwa kita lahir seperti ini merupakan suatu takdir ! pasti anda mengira “mengapa takdir dia lebih bagu dari pada takdir ku !”. Janganlah anda terlena dengan lautan hidup ini, semua yang kita miliki ini adalah maya. Mari kita telusuri lagi. Anda memiliki fisik dan psikis yang seperti ini merupakan hasil dari karma kita yang lampau. Teringat ku pada sebuah cerita : Yaitu ayah dari seratus kurawa yang buta, ia memiliki 100 anak yang mati semua karena perang melawan pandawa. Mengapa ia memiliki nasib yang sangat buruk terlahir dengan mata buta dan keseratus anaknya mati semua dalam perang ?….Lalu sri Krisna tersenyum dan mulai bercerita…..Kau dahulu pada hidup masa lalu mu, engkau adalah seorang pemburu. Lalu ketika engkau masuk kedalam hutan engkau melepaskan panah api mu ke sebuah sarang burung. Didalam sarang burung itu terdapat 100 anak burung yang terbakar habis dan ketika sang induk berusaha menyelamatkan anaknya matanya terkena kobaran api dan menjadi buta.” Karena pada kehidupan mu yang selanjutnya engkau terus menambah buruk karma mu yang buruk itu maka lama kelamaan karma mu yang kecil(membunuh 100 anak burung dan membuat induknya buta) berubah menjadi karma buruk yang besar sehingga engkau mengalami nasib seperti ini.


Sumber : http://agunggoldha.wordpress.com/karma-phala-dan-punarbhawa/

Asal Usul Desa Trunyan

image : wikipedia











Dongeng asal-muasal keberadaan desa Truyan saya coba kisahkan dari 2 fersi,entah yang mana yang memiliki kisah dengan mendekati kisay nyata. Walau baru sekali mendatangi tempat tersebut namun keunikan yang di miliki mebuat siapapun yang berkunjung kesana selalu ingin kembali lagi. Desa Truyan kalau di pandang dari diri saya pribadi desa tersebut  memiliki daya pesona yang masih di bilang alami. Cerita ini saya ambil dari beberapa sumber, jika masih terdapat kekurangan sekiranya dapatlah di tambahkan.


Desa Trunyan, Bali/Admin (baliindahtrip.com)
Alkisah pada suatu hari beberapa abda yang lalu di puri dalem solo, di pulau Jawa tercium bau yang harum sekali.Bau harum yang luar biasa tersebut menarik perhatian empat orang anak dalem Solo untuk mengembara mencari sumbernya.

Dalam pengembaraan itu akhirnya mereka tiba di pulau Bali. Setibanya di kaki selatan gunung Batur, anak dalem Solo yang wanita berkeputusan untuk tidak melanjutkan perjalanan.Ketiga saudara laki-lakinya melanjutkan pengembaraan mereka menyusuri tepi danau Batur.

Waktu mendengar suara burung karena kegirangan, saudara termuda mereka berteriak .Perbuatan tersebut membuat kakak tertuanya marah,kakaknya menendangnya sampai jatuh bersila.

Sesudah meninggalkan adiknya, kedua saudara tersebut melanjutkan perjalanan.Oleh karena sangat senang bertemu dengan manusia, anak kedua dari saudara itu menyapa orang tersebut.Kelakuan adiknya tersebut membuat si kaka tidak senang, akhirnya ditinggalkan adiknya di tempat tersebut.

Setelah meninggalkan adik-adiknya di desa-desa itu, putra dalem Solo yang sulung melanjutkan perjalanannya ke arah utara.Akhirnya ia tiba disebuah dataran tempat ditemukannya seorang Dewi yang teramat menggiurkan hati mudanya.Dewi ini pada waktu ditemukan berada di bawah pohon taru menyan, sumber bau harum tersebut.yang dicari selama ini.Perasaan birahi jejakanya segera bangkit dan diluar kekuasaannya lagi sang Dewi segera disenggamai.Setelah tersalurkan birahinya,si pemuda petualangan itu pergi menghadap kaka sang Dewi untuk meminang adiknya.Kakaknya menyetujui, akhirnya mereka pun menikah.

Setelah usainya upacara perkawinan mereka,tempat yang mereka diami berangsur-angsur berkembang menjadi kerajaan.Kemudian karena kawatir kerajaan mereka itu akan diserang oleh orang luar, yang terpesona bau semerbak yang keluar dari pohon taru menyan tersebut, maka sang permaisuri memerintahkan untuk menghilangkan bau semerbak itu. Caranya Ia memerintahkan agar jenazah-jenazah orang Trunyan untuk selanjutnya tidak lagi dikebumikan,melainkan dibiarkan membusuk di bawah udara terbuka.Itulah sebabnya, maka sejak itu, desa Trunyan tidak lagi mengeluarkan bau semerbak yang mempesonakan,namun sebaliknya jenazah-jenazah penduduk yang dibiarkan membusuk di udara terbuka di daerah pemakaman sema Wayah tidak mengeluarkan bau busuk.

Kisah yang kedua

Di kisahkan, bau harum taru menyan, memancing Ratu Gede Pancering Jagat mendatangi sumber bau. Di sekitar pohon-pohon hutan cemara Landung, beliau bertemu dengan Ida Ratu Ayu Dalem Pingit [Ratu Ayu Dalem Dasar]. Mereka kemudian menikah dan disaksikan oleh penduduk Desa Hutan Landung yang sedang berburu. Sebelum meresmikan pernikahan, Ratu Gede mengajak penduduk Desa Cemara Landung untuk membuat desa yang bernama Taru Menyan dan lama kelamaan terkenal menjadi Trunyan. Itulah asal kata Trunyan.

Akibat adanya Ratu Pancerin jagad, maka masyarakat Trunyan percaya bahwa desanya menjadi satu-satunya desa di dunia ini yang anti gempa. Menurut cerita si tukang boat, Beberapa waktu yang lalu ada gempa yang terjadi di Seririt, Singaraja yang juga dirasakan oeh penduduk kintamani, namun tidak dirasakan di trunyan. Tanda adanya gempa disekitarnya dapat dilihat penduduk Trunyan melalui pancaran mata air yang keluar tidak lurus keluarnya namun bergoyang2.
Yup, itulah dunia, banyak sekali keanehanya.

Trunyan merupakan satu dari tiga Suku Bali asli [Bali Aga], yaitu suku yang ada dibali sebelum Jaman Majapahit dan sebelum gelombang pengungsian warga kerajaan Majapahit terakhir yang menolak menjadi Muslim [hijrah ke Bali]. Dua suku Bali asli lainnya adalah Suku Tenganan di Karang Asem [Smarapura] dan Suku Yeh Tipat di Singaraja. Trunyan termasuk di lingkup Kabupaten Bangli.

Suku Trunyan, punya tiga cara unik menangani mayat, diupacarai yang setara dengan upacara ngaben di tempat lain:

Untuk yang meninggal adalah Bayi, maka mayatnya dikubur, lokasinya disebut Sema Muda, kira-kira 200 meter-an ke sebelah kanan lagi namun sebelum desa trunyan dari arah sekarang ini.
Untuk yang meninggal adalah orang yang kecelakaan, dibunuh atau bukan karena mati normal. Maka mereka anggap itu mempunyai kesalahan besar. Lokasi mereka di kubur [Sema bantas] adalah di perbatasan antara desa Trunyan dan Desa abang. Letaknya Jauh dari tempat kami sekarang.
Untuk yang mati normal, Mayat mereka diberi kain putih dan hanya diletakan dibawah Taru Menyan [Pohon wangi]. Maksudnya mati normal adalah tidak punya salah/kesalahan sesuatu, diluar kreteria di atas.
Mayat itu diletakan di atas tanah dengan lubang yang sangat dangkal [kira-kira 10 - 20 cm]. Tujuannya supaya tidak bergeser-geser [karena bidang tanah ditempat itu tidaklah dapat disebut datar]. Jumlah maksimum mayat yang diperkenankan ada di bawah pohon taru menyan adalah 11 mayat. Alasannya adalah mayat yang ke 12 dan seterusnya, akan berbau . Baunya tempo-tempo ada…tempo-tempo tidak.
Bisa jadi itu disebabkan keterbatasan bau yang dapat diserap oleh taru menyan tersebut, yaitu kurang lebih sekitar 11 x 60 kg [asumsi berat rata-rata mayat] = 660 kg. Sehingga untuk menyerap mayat berikutnya menjadi tidak maksimal.

Walaupun mayat itu mati normal sekalipun, namun jika tidak sepenuhnya bersih dalam artian bersih dari kesalahan, maka bau mayat akan tetap ada walaupun tempo-tempo ada dan tempo-tempo tidak. Bukan cuma itu, mayat yang ‘ada kesalahan’ itu, lebih cepat busuk dari mayat yang lain [rata-rata pembusukan normal adalah 2 bulanan].

Penjelasan mengapa mayat yang menggeletak begitu saja di sema itu tidak menimbulkan bau padahal secara alamiah, tetap terjadi penguraian atas mayat-mayat tersebut ini disebabkan pohon Taru Menyan tersebut, yang bisa mengeluarkan bau harum dan mampu menetralisir bau busuk mayat. Taru berarti pohon, sedang Menyan berarti harum. Pohon Taru Menyan ini, hanya tumbuh di daerah ini. Jadilah Tarumenyan yang kemudian lebih dikenal sebagai Trunyan yang diyakini sebagai asal usul nama desa tersebut.


sumber : http://unik.kompasiana.com/2010/10/23/cerita-trunyan-mayat-dibiarkan-tidak-berbau-296554.html

Kisah Sejarah Agama Hindu

sumber : google.com

Agama Hindu adalah agama yang mempunyai usia terpanjang merupakan agama yang pertama dikenal oleh manusia. Dalam uraian ini akan dijelaskan kapan dan dimana agama itu diwahyukan dan uraian singkat tentang proses perkembangannya. Agama Hindu adalah agama yang telah melahirkan kebudayaan yang sangat kompleks dibidang astronomi, ilmu pertanian, filsafat dan ilmu-ilmu lainnya. Karena luas dan terlalu mendetailnya jangkauan pemaparan dari agama Hindu, kadang-kadang terasa sulit untuk dipahami.

Banyak para ahli dibidang agama dan ilmu lainnya yang telah mendalami tentang agama Hindu sehingga muncul bermacam- macam penafsiran dan analisa terhadap agama Hindu. Sampai sekarang belum ada kesepakatan diantara para ahli untuk menetapkan kapan agama Hindu itu diwahyukan, demikian juga mengenai metode dan misi penyebarannya belum banyak dimengerti.

Penampilan agama Hindu yang memberikan kebebasan cukup tinggi dalam melaksanakan upacaranya mengakibatkan banyak para ahli yang menuliskan tentang agama ini tidak sesuai dengan apa yang sebenarnya ada dalam agama Hindu.
Sebagai Contoh: "Masih banyak para ahli menuliskan Agama Hindu adalah agama yang polytheistis dan segala macam lagi penilaian yang sangat tidak mengenakkan, serta merugikan agama Hindu".
Disamping itu di kalangan umat Hindu sendiripun masih banyak pemahaman-pemahaman yang kurang tepat atas ajaran agama yang dipahami dan diamalkan. Demikianlah tujuan penulisan ini adalah untuk membantu meluruskan pendapat-pendapat yang menyimpang serta pengertian yang belum jelas dari hal yang sebenarnya terhadap agama Hindu.

AGAMA HINDU DI INDIA
Perkembangan agama Hindu di India, pada hakekatnya dapat dibagi menjadi 4 fase, yakni Jaman Weda, Jaman Brahmana, Jaman Upanisad dan Jaman Budha. Dari peninggalan benda-benda purbakala di Mohenjodaro dan Harappa, menunjukkan bahwa orang-orang yang tinggal di India pada jamam dahulu telah mempunyai peradaban yang tinggi. Salah satu peninggalan yang menarik, ialah sebuah patung yang menunjukkan perwujudan Siwa. Peninggalan tersebut erat hubungannya dengan ajaran Weda, karena pada jaman ini telah dikenal adanya penyembahan terhadap  Dewa-dewa. 
Jaman Weda dimulai pada waktu bangsa Arya berada di Punjab di Lembah Sungai Sindhu, sekitar 2500 s.d 1500 tahun sebelum Masehi, setelah mendesak bangsa Dravida kesebelah Selatan sampai ke dataran tinggi Dekkan. bangsa Arya telah memiliki peradaban tinggi, mereka menyembah Dewa-dewa seperti Agni, Varuna, Vayu, Indra, Siwa dan sebagainya. Walaupun Dewa-dewa itu banyak, namun semuanya adalah manifestasi dan perwujudan Tuhan Yang Maha Tunggal. Tuhan yang Tunggal dan Maha Kuasa dipandang sebagai pengatur tertib alam semesta, yang disebut "Rta". Pada jaman ini, masyarakat dibagi atas kaum Brahmana, Ksatriya, Vaisya dan Sudra.

Pada Jaman Brahmana, kekuasaan kaum Brahmana amat besar pada kehidupan keagamaan, kaum brahmanalah yang mengantarkan persembahan orang kepada para Dewa pada waktu itu. Jaman Brahmana ini ditandai pula mulai tersusunnya "Tata Cara Upacara" beragama yang teratur. Kitab Brahmana, adalah kitab yang menguraikan tentang saji dan upacaranya. Penyusunan tentang Tata Cara Upacara agama berdasarkan wahyu-wahyu Tuhan yang termuat di dalam ayat-ayat Kitab Suci Weda.

Sedangkan pada Jaman Upanisad, yang dipentingkan tidak hanya terbatas pada Upacara dan Saji saja, akan tetapi lebih meningkat pada pengetahuan bathin yang lebih tinggi, yang dapat membuka tabir rahasia alam gaib. Jaman Upanisad ini adalah jaman pengembangan dan penyusunan falsafah agama, yaitu jaman orang berfilsafat atas dasar Weda. Pada jaman ini muncullah ajaran filsafat yang tinggi-tinggi, yang kemudian dikembangkan pula pada ajaran Darsana, Itihasa dan Purana. Sejak jaman Purana, pemujaan Tuhan sebagai Tri Murti menjadi umum.

Selanjutnya, pada Jaman Budha ini, dimulai ketika putra Raja Sudhodana yang bernama "Sidharta", menafsirkan Weda dari sudut logika dan mengembangkan sistem yoga dan semadhi, sebagai jalan untuk menghubungkan diri dengan Tuhan.
Agama Hindu, dari India Selatan menyebar sampai keluar India melalui beberapa cara. Dari sekian arah penyebaran ajaran agama Hindu sampai juga di Nusantara.

MASUKNYA AGAMA HINDU DI INDONESIA
Berdasarkan beberapa pendapat, diperkirakan bahwa Agama Hindu pertamakalinya berkembang di Lembah Sungai Shindu di India. Dilembah sungai inilah para Rsi menerima wahyu dari Hyang Widhi dan diabadikan dalam bentuk Kitab Suci Weda. Dari lembah sungai sindhu, ajaran Agama Hindu menyebar ke seluruh pelosok dunia, yaitu ke India Belakang, Asia Tengah, Tiongkok, Jepang dan akhirnya sampai ke Indonesia. Ada beberapa teori dan pendapat tentang masuknya Agama Hindu ke Indonesia.

Krom (ahli - Belanda), dengan teori Waisya.
Dalam bukunya yang berjudul "Hindu Javanesche Geschiedenis", menyebutkan bahwa masuknya pengaruh Hindu ke Indonesia adalah melalui penyusupan dengan jalan damai yang dilakukan oleh golongan pedagang (Waisya) India.

Mookerjee (ahli - India tahun 1912).
Menyatakan bahwa masuknya pengaruh Hindu dari India ke Indonesia dibawa oleh para pedagang India dengan armada yang besar. Setelah sampai di Pulau Jawa (Indonesia) mereka mendirikan koloni dan membangun kota-kota sebagai tempat untuk memajukan usahanya. Dari tempat inilah mereka sering mengadakan hubungan dengan India. Kontak yang berlangsung sangat lama ini, maka terjadi penyebaran agama Hindu di Indonesia.

Moens dan Bosch (ahli - Belanda)
Menyatakan bahwa peranan kaum Ksatrya sangat besar pengaruhnya terhadap penyebaran agama Hindu dari India ke Indonesia. Demikian pula pengaruh kebudayaan Hindu yang dibawa oleh para para rohaniwan Hindu India ke Indonesia.

Data Peninggalan Sejarah di Indonesia.

Data peninggalan sejarah disebutkan Rsi Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia. Data ini ditemukan pada beberapa prasasti di Jawa dan lontar-lontar di Bali, yang menyatakan bahwa Sri Agastya menyebarkan agama Hindu dari India ke Indonesia, melalui sungai Gangga, Yamuna, India Selatan dan India Belakang. Oleh karena begitu besar jasa Rsi Agastya dalam penyebaran agama Hindu, maka namanya disucikan dalam prasasti-prasasti seperti:

Prasasti Dinoyo (Jawa Timur):
Prasasti ini bertahun Caka 628, dimana seorang raja yang bernama Gajahmada membuat pura suci untuk Rsi Agastya, dengan maksud memohon kekuatan suci dari Beliau.

Prasasti Porong (Jawa Tengah)
Prasasti yang bertahun Caka 785, juga menyebutkan keagungan dan kemuliaan Rsi Agastya. Mengingat kemuliaan Rsi Agastya, maka banyak istilah yang diberikan kepada beliau, diantaranya adalah: Agastya Yatra, artinya perjalanan suci Rsi Agastya yang tidak mengenal kembali dalam pengabdiannya untuk Dharma. Pita Segara, artinya bapak dari lautan, karena mengarungi lautan-lautan luas demi untuk Dharma.

AGAMA HINDU DI INDONESIA

Masuknya agama Hindu ke Indonesia terjadi pada awal tahun Masehi, ini dapat diketahui dengan adanya bukti tertulis atau benda-benda purbakala pada abad ke 4 Masehi denngan diketemukannya tujuh buah Yupa peningalan kerajaan Kutai di Kalimantan Timur. Dari tujuh buah Yupa itu didapatkan keterangan mengenai kehidupan keagamaan pada waktu itu yang menyatakan bahwa: "Yupa itu didirikan untuk memperingati dan melaksanakan yadnya oleh Mulawarman". Keterangan yang lain menyebutkan bahwa raja Mulawarman melakukan yadnya pada suatu tempat suci untuk memuja dewa Siwa. Tempat itu disebut dengan "Vaprakeswara".

Masuknya agama Hindu ke Indonesia, menimbulkan pembaharuan yang besar, misalnya berakhirnya jaman prasejarah Indonesia, perubahan dari religi kuno ke dalam kehidupan beragama yang memuja Tuhan Yang Maha Esa dengan kitab Suci Veda dan juga munculnya kerajaan yang mengatur kehidupan suatu wilayah. Disamping di Kutai (Kalimantan Timur), agama Hindu juga berkembang di Jawa Barat mulai abad ke-5 dengan diketemukannya tujuh buah prasasti, yakni prasasti Ciaruteun, Kebonkopi, Jambu, Pasir Awi, Muara Cianten, Tugu dan Lebak. Semua prasasti tersebut berbahasa Sansekerta dan memakai huruf Pallawa.

Dari prassti-prassti itu didapatkan keterangan yang menyebutkan bahwa "Raja Purnawarman adalah Raja Tarumanegara beragama Hindu, Beliau adalah raja yang gagah berani dan lukisan tapak kakinya disamakan dengan tapak kaki Dewa Wisnu"

Bukti lain yang ditemukan di Jawa Barat adalah adanya perunggu di Cebuya yang menggunakan atribut Dewa Siwa dan diperkirakan dibuat pada masa Raja Tarumanegara. Berdasarkan data tersebut, maka jelas bahwa Raja Purnawarman adalah penganut agama Hindu dengan memuja Tri Murti sebagai manifestasi dari Tuhan Yang Maha Esa. Selanjutnya, agama Hindu berkembang pula di Jawa Tengah, yang dibuktikan adanya prasasti Tukmas di lereng gunung Merbabu. Prasasti ini berbahasa sansekerta memakai huruf Pallawa dan bertipe lebih muda dari prasasti Purnawarman. Prasasti ini yang menggunakan atribut Dewa Tri Murti, yaitu Trisula, Kendi, Cakra, Kapak dan Bunga Teratai Mekar, diperkirakan berasal dari tahun 650 Masehi.

Pernyataan lain juga disebutkan dalam prasasti Canggal, yang berbahasa sansekerta dan memakai huduf Pallawa. Prasasti Canggal dikeluarkan oleh Raja Sanjaya pada tahun 654 Caka (576 Masehi), dengan Candra Sengkala berbunyi: "Sruti indriya rasa", Isinya memuat tentang pemujaan terhadap Dewa Siwa, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma sebagai Tri Murti.

Adanya kelompok Candi Arjuna dan Candi Srikandi di dataran tinggi Dieng dekat Wonosobo dari abad ke-8 Masehi dan Candi Prambanan yang dihiasi dengan Arca Tri Murti yang didirikan pada tahun 856 Masehi, merupakan bukti pula adanya perkembangan Agama Hindu di Jawa Tengah. Disamping itu, agama Hindu berkembang juga di Jawa Timur, yang dibuktikan dengan ditemukannya prasasti Dinaya (Dinoyo) dekat Kota Malang berbahasa sansekerta dan memakai huruf Jawa Kuno. Isinya memuat tentang pelaksanaan upacara besar yang diadakan oleh Raja Dea Simha pada tahun 760 Masehi dan dilaksanakan oleh para ahli Veda, para Brahmana besar, para pendeta dan penduduk negeri. Dea Simha adalah salah satu raja dari kerajaan Kanjuruan. Candi Budut adalah bangunan suci yang terdapat di daerah Malang sebagai peninggalan tertua kerajaan Hindu di Jawa Timur.

Kemudian pada tahun 929-947 munculah Mpu Sendok dari dinasti Isana Wamsa dan bergelar Sri Isanottunggadewa, yang artinya raja yang sangat dimuliakan dan sebagai pemuja Dewa Siwa. Kemudian sebagai pengganti Mpu Sindok adalah Dharma Wangsa. Selanjutnya munculah Airlangga (yang memerintah kerajaan Sumedang tahun 1019-1042) yang juga adalah penganut Hindu yang setia.

Setelah dinasti Isana Wamsa, di Jawa Timur munculah kerajaan Kediri (tahun 1042-1222), sebagai pengemban agama Hindu. Pada masa kerajaan ini banyak muncul karya sastra Hindu, misalnya Kitab Smaradahana, Kitab Bharatayudha, Kitab Lubdhaka, Wrtasancaya dan kitab Kresnayana. Kemudian muncul kerajaan Singosari (tahun 1222-1292). Pada jaman kerajaan Singosari ini didirikanlah Candi Kidal, candi Jago dan candi Singosari sebagai sebagai peninggalan kehinduan pada jaman kerajaan Singosari.

Pada akhir abad ke-13 berakhirlah masa Singosari dan muncul kerajaan Majapahit, sebagai kerajaan besar meliputi seluruh Nusantara. Keemasan masa Majapahit merupakan masa gemilang kehidupan dan perkembangan Agama Hindu. Hal ini dapat dibuktikan dengan berdirinya candi Penataran, yaitu bangunan Suci Hindu terbesar di Jawa Timur disamping juga munculnya buku Negarakertagama.

Selanjutnya agama Hindu berkembang pula di Bali. Kedatangan agama Hindu di Bali diperkirakan pada abad ke-8. Hal ini disamping dapat dibuktikan dengan adanya prasasti-prasasti, juga adanya Arca Siwa dan Pura Putra Bhatara Desa Bedahulu, Gianyar. Arca ini bertipe sama dengan Arca Siwa di Dieng Jawa Timur, yang berasal dari abad ke-8.

Menurut uraian lontar-lontar di Bali, bahwa Mpu Kuturan sebagai pembaharu agama Hindu di Bali. Mpu Kuturan datang ke Bali pada abad ke-2, yakni pada masa pemerintahan Udayana. Pengaruh Mpu Kuturan di Bali cukup besar. Adanya sekte-sekte yang hidup pada jaman sebelumnya dapat disatukan dengan pemujaan melalui Khayangan Tiga. Khayangan Jagad, sad Khayangan dan Sanggah Kemulan sebagaimana termuat dalam Usama Dewa. Mulai abad inilah dimasyarakatkan adanya pemujaan Tri Murti di Pura Khayangan Tiga. Dan sebagai penghormatan atas jasa beliau dibuatlah pelinggih Menjangan Salwang. Beliau Moksa di Pura Silayukti.

Perkembangan agama Hindu selanjutnya, sejak ekspedisi Gajahmada  ke Bali (tahun 1343) sampai akhir abad ke-19 masih terjadi pembaharuan dalam teknis pengamalan ajaran agama. Dan pada masa Dalem Waturenggong, kehidupan agama Hindu mencapai jaman keemasan dengan datangnya Danghyang Nirartha (Dwijendra) ke Bali pada abad ke-16. Jasa beliau sangat besar dibidang sastra, agama, arsitektur. Demikian pula dibidang bangunan tempat suci, seperti Pura Rambut Siwi, Peti Tenget dan Dalem Gandamayu (Klungkung).

Perkembangan selanjutnya, setelah runtuhnya kerajaan-kerajaan di Bali pembinaan kehidupan keagamaan sempat mengalami kemunduran. Namun mulai tahun 1921 usaha pembinaan muncul dengan adanya Suita Gama Tirtha di Singaraja. Sara Poestaka tahun 1923 di Ubud Gianyar, Surya kanta tahun1925 di SIngaraja, Perhimpunan Tjatur Wangsa Durga Gama Hindu Bali tahun 1926 di Klungkung, Paruman Para Penandita tahun 1949 di Singaraja, Majelis Hinduisme tahun 1950 di Klungkung, Wiwadha Sastra Sabha tahun 1950 di Denpasar dan pada tanggal 23 Pebruari 1959 terbentuklah Majelis Agama Hindu. Kemudian pada tanggal 17-23 Nopember tahun 1961 umat Hindu berhasil menyelenggarakan Dharma Asrama para Sulinggih di Campuan Ubud yang menghasilkan piagam Campuan yang merupakan titik awal dan landasan pembinaan umat Hindu. Dan pada tahun 1964 (7 s.d 10 Oktober 1964), diadakan Mahasabha Hindu Bali dengan menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali dengan  menetapkan Majelis keagamaan bernama Parisada Hindu Bali, yang selanjutnya menjadi Parisada Hindu Dharma Indonesia.

Direproduksi kembali dari buku Tuntunan Dasar Agama Hindu (milik Departemen Agama)
Disusun oleh: Drs. Anak Agung Gde Oka Netra